Kamis, 22 Desember 2011

Muslimah, Apa Arti Jilbab Bagimu?

Jilbab ini tak sekedar penutup kepala karena rambut yang jelek
 Jilbab ini tak sekedar penutup kulit yang hitam atau coklat karena
 termakan iklan pingin berkulit putih
 Jilbab ini tak sekedar penutup kaki yang tidak panjang semampai
 Jilbab ini tak sekedar ingin ikut-ikutan tren karena banyak artis berjilbab
 Jilbab ini tak sekedar karena beli bahan kepanjangan mau buat apa sisanya
 Jilbab ini bukan dipakai karena memang terpaksa karena instansi tempat
 kita belajar atau bekerja mengharuskan kita untuk berjilbab
 Jilbab ini dipakai bukan karena ingin mencari perhatian lawan jenis agar dinilai alim …

Muslimah, lebih dari itu semua, ketahuilah bahwa di antara kasih sayang Allah terhadap kaum wanita adalah tidak mengabaikan hal-hal yang dapat menjadi kemaslahatan bagi mereka kecuali menganjurkannya dan memerintahkannya, dan tidak membiarkan apapun yang membahayakannya kecuali memperingatkannya dan menghindarkannya dari mereka.

Muslimah, bentuk kasih sayang Allah kepada kaum perempuan adalah memerintahkannya supaya mengenakan hijab yang syar’i jika ia telah mencapai usia baligh dan lebih banyak menetap dirumah. Allah berfirman dalam QS. Al-Ahzab 33, “Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkahlaku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahli bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

Juga dalam QS. An-Nuur 3, “Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anaka-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”

Juga dalam QS. Al-Ahzab 59, “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka tidak diganggu. Dan Allah
 adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Bagi saudari-saudariku yang sudah mengenakan pakaian muslimah tentu sudah tidak asing lagi dengan ayat-ayat diatas, bukan maksudku untuk meremehkan kalian semua dalam hal ini, akan tetapi aku tuliskan kembali semua ini sekedar untuk mengingatkan kembali tentang semangat kita semua dalam berpakaian mauslimah yang syar’i, karena di zaman yang serba modern saat ini bukanlah hal mustahil jika kita bisa saja tergoda oleh buaian dunia sehingga jauh dari aturan-aturan syariat. Naudzubillah. Tak terkecuali diriku. Semoga kita terhindar dari itu semua. Aku yakin, dengan saling mengingatkan di antara kita, Insya Allah akan menambah keimanan kita .

Teruntuk saudariku yang belum terketuk hatinya untuk mengenakan jilbab syar’i semoga dapat menambah wawasan dan menambah keyakinan bahwa tak ada kerugian ketika kita menaati apa yang Allah perintahkan. Saya dan muslimah lain mendoakan semoga kalian diberikan hidayah-Nya. Dan juga para lelaki, para suami maupun calon suami, sudah kewajiban Anda untuk juga tahu akan hal seperti ini karena Anda adalah pemimpin/calon pemimpin dalam keluarga yang tentunya anda mempunyai istri atau anak-anak perempuan yang menjadi tanggung jawab Anda untuk senantiasa mengingatkan dalam kebaikan dan nantinya pasti dimintai pertanggungjwaban.

Saudariku sudah selayaknyalah kita memudahkan orang-orang yang bertanggung jawab, karena kesadaran kita sendiri untuk berjilbab karena kita tahu kita lebih takut kepada Allah.

Saudariku, lalu sebenarnya hijab yang wajib dikenakan itu seperti apa?

 1. Menutup seluruh anggota badan kecuali muka dan telapak tangan
 2. Tebal dan tidak transparan
 3. Tidak mengundang fitnah atau menjadi perhiasan bagi dirinya
 4. Longgar tidak menggunakan wangi-wangian
 5. Tidak menyerupai kaum laki-laki
 6. Tidak berbusana seperti wanita non-muslim
 7. Tidak mencolok

Saya hanya menuliskan poin-poinnya saja. Selanjutnya Anda bisa mengakses lewat buku-buku, salah satunya yang berjudul “Pakaian Wanita Muslimah” karya Syaikh Utsaimin. Saudariku, sudahkah kita, istri kita, anak-anak kita nantinya, saudara perempuan kita berjilbab sesuai syariah? Mari senantiasa perbaiki niatan kita dan juga busana kita sehingga ketika kita berpakaian tidak hanya sekedar ikut tren tapi juga berniat melaksanakan perintah Allah yang menuai pahala.

Saudariku, semoga tulisan sederhana saya ini bisa kembali mengingatkanku dan kalian semua. Dakwah tidak sekedar berkata akan tetapi butuh suri tauladan. Semoga kita bisa mengikuti suri tauladan yang baik, Nabi Muhammad Saw. Semoga kita senantiasa dimudahkan oleh-Nya untuk menapaki dinul Islam. Amiin YRA ....

Meronakan Semua Rasa

Seperti petikan dawai, merdu di antara bunyi tetesan air yang jatuh ke kolam. Tanpa riuh mengusik segala ketenangan. Seperti itulah rasa dan nuansanya, ketika hatiku menggetarkan pesan rahasia lagi, yang hanya bisa kumengerti dengan diam. Entah pada titik yang mana semuanya berawal. Karena aku takut salah membedakan. Dan aku takut salah menafsirkan, dengan semua kedangkanlan pikiranku yang hanya seorang biasa.

Hanya saja, ada hal abstrak yang tetap dan terus baluri seluruh gerak jiwaku. Dan menguat ketika aku tak berada di tengah garis ambivalennya. Aku menyesal karena tak cukup mampu untuk mengungkap segala rasa. Namun, aku tak mungkin menyerah, dan berhenti. Maka yang bisa kulakukan, menjadikan ini sebagai pekerjaan seumur hidup. Yang bisa kumaknai sebagai amanah sekaligus ujian, mungkin. Meski kadang aku mengirikan mereka, yang hatinya tak serumit ini. Dan rasa iri ini kemudian yang refleks kuistighfari, entah kenapa bisa begitu.

Apakah cara keberpasrahanku salah? Yang kupondasikan dengan totalitas ketergantungan. Ya, bisa saja. Karena memang masih banyak yang belum kumengerti dalam tapak-tapak perjalanan ruhiyah. Dan aku malu, sangat malu. Karena berulang kali kelalaian melemahkan upayaku, hingga berulang kali juga Engkau kirimkan gebuan-gebuan ingin itu.

Pernah dan beberapa kali aku berpikir, mungkin karena aku terlalu banyak tanya dalam memaknai kehidupan ini, dan mempersulit diriku dengan semua jawaban yang kudapati. Namun, aku tak bisa menghentikannya, karena masa' bodoh dan kemudian mengelabui kebosanan menjalani rutinitas dan semua fase tanpa esensi yang bisa dijelaskan adalah bukan cara hidup manusia berakal.

Ah, andai saja aku sepintar Aisyah, atau sebijak Khadijah, atau sekuat Maryam, atau setegar Hajar, mungkin, aku punya keberanian untuk mengakui, bahwa mahabbah yang ini, benar-benar memanggut mesra hatiku, kemudian mendominasi seluruh jiwaku.

Namun, aku hanya wanita bumi yang hidup di akhir zaman. Dan aku menyadari sepenuhnya, bahwa aku bukan wanita berpotensi prima seperti sosok-sosok yang kuandaikan itu. Inilah Allah, sebab paling kuat, yang menjadikan aku tetap memohon kepadaMu, agar Engkau tetap yakinkan jiwaku untuk tak berhenti menujuMu, dengan pemaknaan rasa apapun, meski tak selalu bisa kumengerti.

Ijinkan aku (selalu) menjadi muslimahMu. Biar kuronakan semua rasa, bersama rindu-rindu jiwa yang penuh kemesraan. Semua, karenaMu dan untukMu. (RF/KS)

Hari Ibu di Era Digital



Terlepas dari pro dan kontra perayaan Hari Ibu yang jatuh pada 22 Desember, besarnya kasih sayang seorang ibu pada anaknya tentu tidak perlu di ragukan lagi. Sejak berjuang untuk melahirkan si anak ke dunia sampai mendidik dan membesarkannya, sungguh tak terbalas jasa seorang ibu. Sehingga, berbakti pada orangtua, apalagi pada seorang ibu, menjadi sebuah amal shaleh yang besar balasannya dan merupakan kewajiban seorang anak yang beriman pada Allah dan RasulNya.


Namun terkadang, banyak anak yang tidak menyadari hal itu dan enggan berterima kasih pada orangtua, terutama ibunya. Ibu yang melahirkannya ke dunia dan berkorban apapun yang mampu dia korbankan disia-siakan begitu saja. Bahkan, salah satu ciri akhir zaman menjelang kiamat adalah ketika budak-budak melahirkan tuannya. Artinya, banyak sekali di zaman kita sekarang ini, anak-anak yang hampir bisa dibilang memperbudak orangtuanya, terutama ibunya. Banyak dari mereka yang mendapat makanan, uang jajan, dan berbagai fasilitas lain dari orangtuanya namun hanya untuk memuaskan hawa nafsu dan egonya semata. Seakan-akan, para orangtua adalah rakyat yang membayar pajak untuk membiayai kemewahan hidup para raja dan bangsawan di masa lampau.


Ketika teknologi digital dan internet hadir di dunia, tontonan, hiburan, dan permainan pun berubah. Permainan-permainan elektronik yang mengandalkan jaringan internet hadir mewarnai kehidupan anak-anak muda. Banyak anak muda yang menghabiskan waktu berjam-jam tanpa henti dalam permainan-permainan elektronik tersebut. Orangtua pun kesulitan mengendalikan dan mendidik anak-anak mereka. Sedikit saja terganggu saat bermain games online, banyak anak yang langsung marah-marah dan tidak bisa mengendalikan emosinya. Seringkali, ayah atau ibu mereka ada yang sampai terpaksa menyambangi warnet-warnet dan pusat-pusat persewaan permainan elektronik itu untuk mencari anak-anak mereka. Tidak mengherankan apabila Anak-anak seperti itu oleh Marc Prensky disebut Digital Natives atau penduduk asli negeri digital. Sebuah negeri dimana pertukaran informasi berlangsung serba cepat, serba artifisial, dan serba gemerlapan. Sebuah dunia yang dipenuhi dengan konten Multimedia yang sensasional. Sebuah dunia yang menjanjikan kenikmatan bagi mereka yang haus akan segala macam sensasi dan kesenangan palsu nan semu. Jurang pemisah antar generasi muda yang melek digital dan generasi tua yang buta digital makin lebar dan makin sulit untuk dijembatani.


Sebagaimana sang Penyair Libanon Kahlil Gibran pernah mengatakan, "Engkau dapat rumahkan tubuhnya tapi tidak jiwanya, karena jiwa mereka berada di rumah masa depan yang tak dapat kau sambangi bahkan dalam mimpi-mimpimu." Bukan tidak mungkin, rumah masa depan yang dimaksud Kahlil Gibran telah terwujud dalam dunia yang dilahirkan teknologi digital online yang ada sekarang ini. Banyak orangtua, terutama Ibu, seakan tak lagi dianggap penting oleh anak-anak yang dilahirkannya sendiri. Sebagian kaum ibu seakan tertinggal jauh oleh anak-anak mereka. Kehangatan pelukan dan kasih sayang para ibu pada anak-anaknya seolah tergantikan oleh dahsyatnya gelombang informasi dan hiburan yang dibawa oleh teknologi digital tersebut.


Kini, apalah artinya hari ibu diperingati dengan berbagai acara dan diabadikan di berbagai situs dan jejaring sosial di internet? Ketika pada saat bersamaan teknologi yang sama telah menyebabkan kasih sayang ibu tercabut dan terpisah dari anak-anaknya yang telah menjadi penduduk sebuah negeri bernama Dunia Digital. (RF/KS)

Rabu, 21 Desember 2011

Persembahan Terbaik untuk Ibu

Seorang anak adalah ibarat kertas putih. Apa yang tergambar, sedikit banyak adalah pengaruh dari goresan orangtua atau lingkungannya di waktu kecil. Seorang anak yang dibesarkan di lingkungan yang kondusif, maka akan lahir darinya kepribadian yang baik. Sebaliknya, jika dibesarkan di lingkungan yang buruk, maka akan lahir darinya kepribadian yang buruk.


Karakter anak yang dibesarkan tanpa sentuhan kasih orangtua (ibu dan ayah) di waktu kecil, umumnya berbeda dengan karakter mereka yang mendapatkannya. Inilah mungkin hikmahnya Nabi SAW memerintahkan kita untuk menyayangi anak yatim. Mereka belum menemukan pijakan yang utuh tentang kepada siapa dia seharusnya menyandarkan kehidupan dan mengharapkan bimbingan. Oleh karenanya, mereka perlu dihibur dan dikuatkan mentalnya. Lebih-lebih bagi mereka yang yatim dan piatu, di samping kehilangan figur ayah yang mampu memimpin kehidupannya, dia juga kehilangan figur ibu yang mampu memberikan belaian kasih sayang. Oleh karenanya, mereka perlu dibimbing kepada penemuan cinta dan kasih sayang yang sejati, yakni cinta dan kasih sayang Allah SWT.


Anak yang tidak atau jarang mendapatkan sentuhan kasih sayang, ada kalanya memiliki karakter yang kurang kondusif bagi sebuah kemajuan atau kesuksesan. Salah satu penyebabnya adalah karena telah terbentuknya zona aman (comfort zone) atas karakter yang telah tertanam pada dirinya sejak kecil itu. Sebagai contoh kecil, yakni masalah persepsi anak tentang sabar. Bagi anak-anak tertentu, telah tertanam dalam dirinya bahwa apa-apa yang dialaminya adalah bagian dari takdir Allah SWT yang harus diterima dengan sabar. Namun karena penanaman yang kurang tepat, kesabarannya itu tidak membuahkan kegigihan/kemandirian dalam menjalani kehidupan. Dia mengidentikan sabar dengan pasrah atau nrimo yang berkonotasi pasif. Dan dia memiliki persepsi bahwa sabar itu hanya dilakukan di kala menerima musibah saja. Padahal kapan pun, baik di kala susah maupun senang, seorang hamba Allah dituntut untuk senantiasa bersabar.


Namun apakah anak yang kurang mendapat sentuhan kasih sayang orangtuanya akan selalu tumbuh dengan kepribadian yang bermasalah? Data empiris menunjukkan tidaklah selalu demikian. Bahkan kita menyaksikan banyak anak yang tumbuh dengan “kasih sayang” yang “berlebih” dari orangtua mereka, namun mereka tumbuh dengan kepribadian yang labil.

Kisah Nabi Muhammad SAW yang terlahir yatim, yang 6 tahun kemudian menjadi piatu, adalah kisah yang patut menjadi cerminan dan sumber motivasi. Beliau adalah sosok yang tidak banyak mendapat sentuhan dan belaian kasih sayang dari orangtuanya, namun demikian pribadi dan akhlak yang muncul dari diri beliau adalah akhlak dan pribadi indah yang mempesonakan. Tentu semua itu adalah karena kehendak dan bimbingan Allah SWT, yang dengan sifat ar-Rahman dan ar-Rahim-Nya, mengungguli segala sentuhan kasih sayang seorang ibu atau bimbingan seorang ayah yang terbaik sekalipun.


Kehilangan mereka, bukanlah akhir dari sebuah kehidupan. Meski terasa berat pada awalnya, kehilangan seorang ayah adalah bentuk ujian agar seseorang menemukan pembimbing yang sejati, dan kehilangan seorang ibu adalah bentuk ujian agar seseorang bisa menemukan sumber cinta dan kasih sayang yang hakiki, yang tidak pernah lapuk, tidak pernah lekang, tidak terukur dan terbatasi oleh dimensi ruang dan waktu.

Kehadiran orangtua adalah wasilah dari cinta-Nya. Allah SWT berkehendak menunjukkan keagungan petunjuk-Nya, maka diutuslah seorang ayah. Allah SWT berkehendak menunjukkan kemuliaan cinta-Nya, maka diutuslah seorang ibu. Seorang ayah/ibu yang memahami akan esensi ini, maka mereka akan merasa bahwa kehadiran mereka adalah semata-mata amanah dari-Nya, sehingga ia berusaha mencurahkan bimbingan, pimpinan, cinta, dan kasih sayang kepada anak-anaknya sesuai dengan petunjuk yang diberikan-Nya.

Selaku seorang anak, kewajiban kita adalah mencurahkan bakti dan taat secara benar sesuai petunjuk-Nya demi mengharap ridha-Nya. Karena ridha Allah adalah ridha orangtua. Dan kewajiban berbakti itu, adalah kewajiban yang melintasi batas ruang dan waktu, tidak berarti selesai ketika orangtua kita meninggalkan dunia.


Ada kisah menarik yang patut menjadi pelajaran. Ketika Rasulullah SAW wafat, sahabat Umar begitu sangat amat terpukul. Pijakannya hampir hilang ketika menghadapi fakta bahwa sahabat dan pemimpin ummat yang amat sangat dikasihinya itu meninggal dunia. Dengan perasaan penuh guncangan emosi sambil menghunuskan pedang, beliau mengatakan, “Barangsiapa yang mengatakan bahwa Muhammad telah wafat, akan aku penggal lehernya!”

Untunglah, di tengah kondisi yang serba panik itu, tampillah Abu Bakar Ash-Shiddiq menenangkan guncangan jiwa kaum muslimin dengan membacakan firman-Nya, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. 3 : 144). Kemudian beliau berpidato, “Barangsiapa yang menyembah Muhammad, ketahuilah bahwa Muhammad telah wafat. Barangsiapa yang menyembah Allah, maka Allah selalu hidup dan tidak pernah wafat.”


Pedang yang berada di genggaman tangan Umar perlahan-lahan mengendur kemudian jatuh. Jiwa kaum muslimin yang semula bergejolak panas berangsur-angsur mendingin. Semuanya tertunduk haru. Nada tangis yang semula meraung-raung menunjukkan ketidakridhaan, berubah menjadi tangis isak yang tiada henti dengan kucuran air mata. Bertahun-tahun mereka bergaul dengan Rasulullah SAW, seakan baru kali inilah mereka menyadari bahwa Rasulullah SAW tidak lain adalah manusia seperti diri mereka yang bisa wafat kapan saja bila Allah SWT menghendaki.


Ya, siapapun yang menyembah manusia, meski sekaliber Muhammad SAW, maka ia pasti wafat. Pesona seorang ibu/ayah tidaklah melebihi pesona Rasulullah SAW, kewajiban kita kepada seorang ibu/ayah juga tidaklah melebihi kewajiban kita kepada Rasululllah SAW. Maka, kematian seorang ibu/ayah hendaknya tidak menjadikan hati seorang hamba terguncang dan hilang keseimbangan arah.

Jika mereka pergi tatkala anak sudah dewasa, boleh jadi kita bisa memakluminya. Lantas bagaimana bila mereka pergi (meninggal dunia) tatkala anak masih kecil dan sangat membutuhkan bimbingan dan kasih sayang?

Inilah teguran bagi kita untuk selalu memperhatikan mereka. Memberikan bimbingan sebagaimana kita mendapatkan bimbingan. Memberi cinta sebagaimana kita merasakan cinta. Memberi kasih sayang sebagaimana kita menerima kasih sayang. Dan memberi mereka fondasi kesuksesan sebagaimana kita menerima kesuksesan.


Menjelang hari ibu, berjuta kata indah diekspresikan untuk kemuliaannya. Bagi saya, ingatan akan ibu ini bermakna dua hal, yakni pertama, memperkokoh kepedulian bagi mereka yang tidak mendapat sentuhan bimbingan, cinta, dan kasih sayang seorang ibu. Kedua, memperkokoh kebaktian kepada seorang ibu, yang telah melahirkan dan membesarkan kita.


Apa wujud kebaktian yang pantas kita persembahkan buat ibu? Sesungguhnya yang diharapkan oleh seorang ibu dari anaknya adalah keshalehan darinya. Sebab dengan wasilah anak yang shaleh ini, maka sang ibu Insya Allah akan mendapatkan pembalasan atas jerih payahnya di dunia dengan memasuki surga-Nya.


Setiap kita tentu merindukan pertemuan dengan ibu atau ayah kita kelak di surga, termasuk diri ku nanti, maka tidak ada upaya lain selain kita berusaha menjadi hamba Allah yang shaleh. Inilah persembahan terbaik kita untuk ibu, bukan persembahan berujud dunia atau kebendaan. Semoga Allah SWT membimbing langkah-langkah kita untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang shaleh. Amin. Selamat Hari Ibu ....


Wallahu a’lam bishshawab. (MR/KS )

Minggu, 18 Desember 2011

Catatan Akhir Tahun ku ... ( Banyak Makna Tak Terjawab )

Seiring perjalanan waktu yang pernah ditemui dan dikenal menjadi berbeda, pertemuan menjadi momen perkenalan yang tertulis dalam waktu. Saat menyapa, saat mata ini melihat jejak tanda tangan yang ditinggalkan, jenaka senyum menghias waktu. Ketika dalam diam tak terjawab, ada pengertian akan arti lebih, karena ketika jauh akan selalu menunggu kembali.


Perlahan waktu berjalan menyingkap garis yang sempat tertulis, bahwa garis yang sempat menjadi satu perlahan terpisah. Mungkin menjauh. Mendekat untuk menjauh. Entah apakah terjebak untuk mendekat, atau memang tidak bisa bergerak dan hanya menjauh adalah satu-satunya pilihan.


Tak terjawab ketika bertanya, dan tak terjawab ketika perjalanan untuk menyisakan tanda tanya. Lalu bagaimana menjawabnya?.... ( AF/KS ).