Seperti petikan dawai, merdu di antara bunyi tetesan air yang jatuh ke kolam. Tanpa riuh mengusik segala ketenangan. Seperti itulah rasa dan nuansanya, ketika hatiku menggetarkan pesan rahasia lagi, yang hanya bisa kumengerti dengan diam. Entah pada titik yang mana semuanya berawal. Karena aku takut salah membedakan. Dan aku takut salah menafsirkan, dengan semua kedangkanlan pikiranku yang hanya seorang biasa.
Hanya saja, ada hal abstrak yang tetap dan terus baluri seluruh gerak jiwaku. Dan menguat ketika aku tak berada di tengah garis ambivalennya. Aku menyesal karena tak cukup mampu untuk mengungkap segala rasa. Namun, aku tak mungkin menyerah, dan berhenti. Maka yang bisa kulakukan, menjadikan ini sebagai pekerjaan seumur hidup. Yang bisa kumaknai sebagai amanah sekaligus ujian, mungkin. Meski kadang aku mengirikan mereka, yang hatinya tak serumit ini. Dan rasa iri ini kemudian yang refleks kuistighfari, entah kenapa bisa begitu.
Apakah cara keberpasrahanku salah? Yang kupondasikan dengan totalitas ketergantungan. Ya, bisa saja. Karena memang masih banyak yang belum kumengerti dalam tapak-tapak perjalanan ruhiyah. Dan aku malu, sangat malu. Karena berulang kali kelalaian melemahkan upayaku, hingga berulang kali juga Engkau kirimkan gebuan-gebuan ingin itu.
Pernah dan beberapa kali aku berpikir, mungkin karena aku terlalu banyak tanya dalam memaknai kehidupan ini, dan mempersulit diriku dengan semua jawaban yang kudapati. Namun, aku tak bisa menghentikannya, karena masa' bodoh dan kemudian mengelabui kebosanan menjalani rutinitas dan semua fase tanpa esensi yang bisa dijelaskan adalah bukan cara hidup manusia berakal.
Ah, andai saja aku sepintar Aisyah, atau sebijak Khadijah, atau sekuat Maryam, atau setegar Hajar, mungkin, aku punya keberanian untuk mengakui, bahwa mahabbah yang ini, benar-benar memanggut mesra hatiku, kemudian mendominasi seluruh jiwaku.
Namun, aku hanya wanita bumi yang hidup di akhir zaman. Dan aku menyadari sepenuhnya, bahwa aku bukan wanita berpotensi prima seperti sosok-sosok yang kuandaikan itu. Inilah Allah, sebab paling kuat, yang menjadikan aku tetap memohon kepadaMu, agar Engkau tetap yakinkan jiwaku untuk tak berhenti menujuMu, dengan pemaknaan rasa apapun, meski tak selalu bisa kumengerti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar